Astronomi ialah cabang ilmu alam yang melibatkan pengamatan benda-benda langit (bintang, planet, komet, gugus bintang, atau galaksi) serta fenomena-fenomena alam yang terjadi di luar atmosfer Bumi (radiasi latar belakang kosmik (radiasi CMB)). Ilmu ini secara pokok mempelajari banyak sekali sisi dari benda-benda langit menyerupai asal-usul, sifat fisika atau kimia, meteorologi, dan gerak dan bagaimana pengetahuan akan benda-benda tersebut menjelaskan pembentukan dan perkembangan alam semesta.
Ilmu astronomi, yang dalam khasanah ilmu pengetahuan Islam dikenal dengan ilmu falak, yaitu ilmu yang mempelajari ihwal benda-benda langit, matahari, bulan, bintang dan planet-planetnya.
Berbagai pertimabangan praktis, menyerupai memilih arah ketika melaksanakan perjalanan di waktu malam atau untuk memahami relasi antara isu terkini satu dengan isu terkini yang lain setiap tahunnya dengan posisi planet, semakin menambah minat dalam kajian astronomi.
Dalam sejarah islam, astronomi dikembangkan baik untuk kepentingan mudah maupun teoritis. Kajian ihwal benda-benda ruang angkasa didorong oleh tawaran al-Quran semoga memperhatikan dan merenungkan ayat-ayat kauniyyah, sepertihalnya:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ ۚ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَٰلِكَ إِلَّا بِالْحَقِّ ۚ يُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Dialah yang menimbulkan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kau mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak membuat yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan gejala (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (Q.S. Yunus (10):5)
Dalam astronomi penetapan jadwal puasa ini dikembangkan metode observasi (rukyat) yang sistematis dan memenuhi kaidah serta syarat–syarat ilmiah, yaitu obyektif dan replicable. Dari ribuan observasi, maka berhasil dibentuk rumus-rumus hitungan(hisab) untuk melaksanakan prediksi ke depan.
1. Hisab
Hitungan hisab itu sekarang sanggup diotomatisasi dengan pemrograman dalam komputer. Dengan demikian banyak sekali kesalahan insan sanggup dieliminasi. Salah satu pola jadwal komputer yang khusus dikembangkan untuk hisab kalender Hijriah yaitu software “Mawaaqit” yang semula dikembangkan oleh Club Astronomi Al-Farghani bersama ICMI Orsat Belanda dan kemudian dilanjutkan di Bakosurtanal. Metode ini cukup akurasi terbukti dengan Lunar Laser Ranging, maupun secara praktis, yaitu di dunia pelayaran. Dunia pelayaran setiap hari menggunakan astronomi modern. Dengan demikian hisab modern ini sudah mendekati niscaya (qath’ie), apalagi jika ketelitian yang diharapkan cuma dalam hitungan menit. Dengan hisab modern ini sanggup dihitung besaran-besaran hisab yang sangat penting, dua di antaranya adalah:
a. Ijtima’
Ijtima’ yaitu dikala “bertemunya” (conjunction) bulan dan matahari pada bujur ekliptik yang sama. Bila lintangnya juga sama maka akan terjadi gerhana matahari. Sejak ratusan tahun yang kemudian para astronom sanggup menghitung ijtima’ ribuan tahun ke depan dengan kesalahan kurang dari satu menit. Ijtima’ terjadi serentak, dan cuma sekali setiap bulan. Peristiwa ijtima tidak sanggup dilihat sebab matahari di belakang bulan sangat menyilaukan.
b. Irtifa’, Wujud ul Hilal
Setelah ijtima’, bulan yang makin tinggi lambat laun akan menyentuh horizon bagi daerah di muka bumi yang sedang mengalami matahari terbenam. Bila bulan ini sempurna di horizon, maka dikatakan irtifa’-nya nol dan semenjak itu ia “wujud” (wujud ul hilal). Makin usang irtifa’ ini makin besar. Dalam 24 jam (sehari) ia akan naik sekitar 12 derajat. Namun tidak setiap bulan di atas horizon akan membentuk “wujudul hilal”. Pada konstelasi tertentu, di lintang tertentu, sanggup saja bulan berada di atas horizon meski belum ijtima’ (wujud ul qomar). Karena itu irtifa’ harus digabung dengan umur bulan.
2. Rukyat ul Hilal
Rukyat ul Hilal yaitu metode mudah menandakan apakah bulan sabit gres (hilal) terlihat atau tidak. Sebenarnya tidak gampang melaksanakan rukyatul hilal, sekalipun bagi astronom. Dalam astronomi obyek langit yang biasa dirukyat dianjurkan di atas sudut 15 derajat. Sedang rukyatul hilal justru dilakukan dikala irtifa’ bulan masih sangat rendah. Sebenarnya rukyatul hilal semestinya dilakukan sehabis ijtima’. Namun secara syar’i rukyat selalu harus dilakukan setiap tanggal 29 Sya’ban atau Ramadhan tanpa melihat sudah ijtima’ atau belum. Secara metodologi, pada dikala ini rukyatul hilal jarang dilakukan secara ilmiah, yaitu obyektif, terrekam dan replicable melainkan mengandalkan kesaksian orang yang dianggap jujur.
3. Imkanur Rukyat
Masalahnya angka imkan yang ada berbeda-beda. Kitab-kitab ilmu falak renta masih menggunakan 7 derajat. Di Turki menggunakan 5 derajat. Di Indonesia Jama’ah Persis konsisten menggunakan hisab mutlak dengan imkan 2 derajat. PBNU tetap akan merukyat namun akan menolak rukyat sementara irtifa’ masih kurang dari 2 derajat. Karena problem imkan belum ada konsensus, Muhammadiyah kesannya menetapkan menggunakan wujudul hilal. Dari sini kelihatan bahwa meski metode hisab sama, namun jika kriteria imkan berbeda, hasilnyapun sanggup berbeda satu hari. Di manakah bulan pertama kali mungkin terrukyat (imkan awal) ternyata sanggup di mana saja. Tidak ada sebuah tempatpun yang mempunyai privileg. Semua tergantung kondisi aktual. Secara astronomi, sanggup dibuatkan garis tanggal hijri (Hijri Date Line / HDL), yaitu suatu garis tempat-tempat dengan irtifa’ (wujud, imkan) sama dikala matahari terbenam di masing-masing tempat. HDL ini tiap bulan bergeser dan berubah bentuknya. Yang pasti, faktor cuaca tidak sanggup diprediksi dengan hisab astronomi, sebab tidak ada hubungannya.
4. Zona Waktu
Ketika para pelaut Inggris mengelilingi dunia ke arah timur, mereka menghitung hari. Ternyata ketika kembali ke London dari arah barat, mereka dapatkan hari yang dihitung dalam perjalanan selalu lebih panjang sehari dari yang dihitung orang di London. Untuk menuntaskan problem ini, maka kesannya para pelaut, geografer dan astronom setuju untuk mendefinisikan suatu garis maya yang disebut garis tanggal internasional (International Date Line / IDL). Bila kita melintasi garis IDL ini, maka akan ada lompat hari. Meski kelihatan aneh, tapi garis maya ini harus ada semoga ada konsistensi hari dan tanggal pada kalender internasional. Dan berdasarkan garis tanggal ini pula kaum muslimin mendefinisikan nama-nama hari menyerupai Senin, Kamis, Jum’at dan sebagainya.
Melalui cara prediksi-prediksi diatas sanggup menunjukkan tanggapan atas astronomi islam dalam penetapan jadwal puasa.
Ilmu astronomi, yang dalam khasanah ilmu pengetahuan Islam dikenal dengan ilmu falak, yaitu ilmu yang mempelajari ihwal benda-benda langit, matahari, bulan, bintang dan planet-planetnya.
Berbagai pertimabangan praktis, menyerupai memilih arah ketika melaksanakan perjalanan di waktu malam atau untuk memahami relasi antara isu terkini satu dengan isu terkini yang lain setiap tahunnya dengan posisi planet, semakin menambah minat dalam kajian astronomi.
Dalam sejarah islam, astronomi dikembangkan baik untuk kepentingan mudah maupun teoritis. Kajian ihwal benda-benda ruang angkasa didorong oleh tawaran al-Quran semoga memperhatikan dan merenungkan ayat-ayat kauniyyah, sepertihalnya:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ ۚ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَٰلِكَ إِلَّا بِالْحَقِّ ۚ يُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Dialah yang menimbulkan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kau mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak membuat yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan gejala (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (Q.S. Yunus (10):5)
Dalam astronomi penetapan jadwal puasa ini dikembangkan metode observasi (rukyat) yang sistematis dan memenuhi kaidah serta syarat–syarat ilmiah, yaitu obyektif dan replicable. Dari ribuan observasi, maka berhasil dibentuk rumus-rumus hitungan(hisab) untuk melaksanakan prediksi ke depan.
1. Hisab
Hitungan hisab itu sekarang sanggup diotomatisasi dengan pemrograman dalam komputer. Dengan demikian banyak sekali kesalahan insan sanggup dieliminasi. Salah satu pola jadwal komputer yang khusus dikembangkan untuk hisab kalender Hijriah yaitu software “Mawaaqit” yang semula dikembangkan oleh Club Astronomi Al-Farghani bersama ICMI Orsat Belanda dan kemudian dilanjutkan di Bakosurtanal. Metode ini cukup akurasi terbukti dengan Lunar Laser Ranging, maupun secara praktis, yaitu di dunia pelayaran. Dunia pelayaran setiap hari menggunakan astronomi modern. Dengan demikian hisab modern ini sudah mendekati niscaya (qath’ie), apalagi jika ketelitian yang diharapkan cuma dalam hitungan menit. Dengan hisab modern ini sanggup dihitung besaran-besaran hisab yang sangat penting, dua di antaranya adalah:
a. Ijtima’
Ijtima’ yaitu dikala “bertemunya” (conjunction) bulan dan matahari pada bujur ekliptik yang sama. Bila lintangnya juga sama maka akan terjadi gerhana matahari. Sejak ratusan tahun yang kemudian para astronom sanggup menghitung ijtima’ ribuan tahun ke depan dengan kesalahan kurang dari satu menit. Ijtima’ terjadi serentak, dan cuma sekali setiap bulan. Peristiwa ijtima tidak sanggup dilihat sebab matahari di belakang bulan sangat menyilaukan.
b. Irtifa’, Wujud ul Hilal
Setelah ijtima’, bulan yang makin tinggi lambat laun akan menyentuh horizon bagi daerah di muka bumi yang sedang mengalami matahari terbenam. Bila bulan ini sempurna di horizon, maka dikatakan irtifa’-nya nol dan semenjak itu ia “wujud” (wujud ul hilal). Makin usang irtifa’ ini makin besar. Dalam 24 jam (sehari) ia akan naik sekitar 12 derajat. Namun tidak setiap bulan di atas horizon akan membentuk “wujudul hilal”. Pada konstelasi tertentu, di lintang tertentu, sanggup saja bulan berada di atas horizon meski belum ijtima’ (wujud ul qomar). Karena itu irtifa’ harus digabung dengan umur bulan.
2. Rukyat ul Hilal
Rukyat ul Hilal yaitu metode mudah menandakan apakah bulan sabit gres (hilal) terlihat atau tidak. Sebenarnya tidak gampang melaksanakan rukyatul hilal, sekalipun bagi astronom. Dalam astronomi obyek langit yang biasa dirukyat dianjurkan di atas sudut 15 derajat. Sedang rukyatul hilal justru dilakukan dikala irtifa’ bulan masih sangat rendah. Sebenarnya rukyatul hilal semestinya dilakukan sehabis ijtima’. Namun secara syar’i rukyat selalu harus dilakukan setiap tanggal 29 Sya’ban atau Ramadhan tanpa melihat sudah ijtima’ atau belum. Secara metodologi, pada dikala ini rukyatul hilal jarang dilakukan secara ilmiah, yaitu obyektif, terrekam dan replicable melainkan mengandalkan kesaksian orang yang dianggap jujur.
3. Imkanur Rukyat
Masalahnya angka imkan yang ada berbeda-beda. Kitab-kitab ilmu falak renta masih menggunakan 7 derajat. Di Turki menggunakan 5 derajat. Di Indonesia Jama’ah Persis konsisten menggunakan hisab mutlak dengan imkan 2 derajat. PBNU tetap akan merukyat namun akan menolak rukyat sementara irtifa’ masih kurang dari 2 derajat. Karena problem imkan belum ada konsensus, Muhammadiyah kesannya menetapkan menggunakan wujudul hilal. Dari sini kelihatan bahwa meski metode hisab sama, namun jika kriteria imkan berbeda, hasilnyapun sanggup berbeda satu hari. Di manakah bulan pertama kali mungkin terrukyat (imkan awal) ternyata sanggup di mana saja. Tidak ada sebuah tempatpun yang mempunyai privileg. Semua tergantung kondisi aktual. Secara astronomi, sanggup dibuatkan garis tanggal hijri (Hijri Date Line / HDL), yaitu suatu garis tempat-tempat dengan irtifa’ (wujud, imkan) sama dikala matahari terbenam di masing-masing tempat. HDL ini tiap bulan bergeser dan berubah bentuknya. Yang pasti, faktor cuaca tidak sanggup diprediksi dengan hisab astronomi, sebab tidak ada hubungannya.
4. Zona Waktu
Ketika para pelaut Inggris mengelilingi dunia ke arah timur, mereka menghitung hari. Ternyata ketika kembali ke London dari arah barat, mereka dapatkan hari yang dihitung dalam perjalanan selalu lebih panjang sehari dari yang dihitung orang di London. Untuk menuntaskan problem ini, maka kesannya para pelaut, geografer dan astronom setuju untuk mendefinisikan suatu garis maya yang disebut garis tanggal internasional (International Date Line / IDL). Bila kita melintasi garis IDL ini, maka akan ada lompat hari. Meski kelihatan aneh, tapi garis maya ini harus ada semoga ada konsistensi hari dan tanggal pada kalender internasional. Dan berdasarkan garis tanggal ini pula kaum muslimin mendefinisikan nama-nama hari menyerupai Senin, Kamis, Jum’at dan sebagainya.
Melalui cara prediksi-prediksi diatas sanggup menunjukkan tanggapan atas astronomi islam dalam penetapan jadwal puasa.
0 Response to "Astronomi Islam Dalam Penetapan Agenda Puasa"