Latest News

Tokoh-Tokoh Fiqih Dan Gagasannya

BAB I
PENDAHULUAN

Istilah-istilah fiqh bahwasanya sudah tidak absurd lagi bagi semua umat Islam, yang mana merupakan suatu kata yang amat penting dan kuat terhadap umat Islam dimanapun berada. Dikatakan penting lantaran fiqih merupakan aturan atau landasan yang dipakai oleh orang muslim dalam menjalankan ibadah. Istilah fiqih tersebut sanggup dikenal oleh banyak orang lantaran pada masa pembentukannya terdapat tokoh-tokoh mujtahid yang bersungguh-sungguh dalam memutuskan aturan dalam peribadatan insan yang dalam pelaksanaanya dihentikan dilakukan dengan cara yang tidak aturan. Para mujtahid dalam memilih aturan tentu tidak dilakukan sesuai dengan pikiran mereka sendiri saja, tetapi juga berlandaskan Al-Qur’an yang merupakan sumber aturan pertama bagi umat islam.
Setelah ditetapkannya fiqih sebagai suatu ilmu dan cara mencari aturan terhadap suatu masalah, tentunya sangat kuat terhadap perkembangan tasyri’ lantaran fiqih sudah cukup mempelajari apa-apa yang ditetapkan dalam aturan yang global, kemudian dengan fiqih tersebut akan menjadi lebih dipahami, lantaran lebih spesifik. Dalam makalah ini akan dibahas perihal beberapa tokoh-tokoh dan gagasannya dalam bidang fiqih.









BAB II
PEMBAHASAN

1.      A. BIOGRAFI AMIEN RAIS
            Amien Rais dilahirkan di Solo 26 April 1944, putra pasangan Suhut Rais dan Suhaimiyah. Sejak kecil ia dididik dan dibesarkan dalam lingkungan Muhammadiyah dan kultur pendidikan. Ayahnya yaitu penggerak Muhammadiyah sekaligus Kepala Pendidikan Agama Wilayah Surakarta. Begitu juga dengan ibunya, ia mengajar di Sekolah Guru Taman Kanak-kanak (SGKP) Muhammadiyah. Jadi, kehidupan Amin betul-betul terbentuk dalam kultur pendidikan.
            Sebagai putra penggerak Muhammadiyah, Amien memperoleh warisan budaya dari orangtuanya. Sejak pendidikan Taman Kanak-kanak hingga SMA, ia sekolah di lingkungan Muhammadiyah. Semula, orangtuanya bercita-cita supaya Amin menjadi kiai atau ustad. Karena itu, semenjak kecil ibunya selalu membangunkan sebelum waktu subuh untuk membaca al-Qur'an setiap hari dan melarang meninggalkan shalat.
            Warisan dari orangtuanya itu ternyata terjiwai dengan sepenuh hati. Dengan penuh kesadaran, Amin gemar melaksanakan ibadah. Sikap kesadaran itu menumbuhkannya pada perilaku kritis terhadap segala persoalan, yang semuanya itu termasuk pecahan dari ibadah.
            Setamat Sekolah Menengan Atas Muhammadiyah di Solo, Amien kemudian melanjutkan kuliah ke Fakultas Ilmu Sosial Politik (Fisipol), UGM, Yogyakarta pada 1962. Masuk Jurusan Ilmu Politik, diakui Amien memang bukanlah harapan yang diniatkan semula. Sebab sebagaimana yang sudah disinggung semula, semenjak kecil ibunya sudah menanamkan kepercayaan supaya supaya dikala kuliah ke Al- Azhar. Tetapi, menyerupai sudah diakui Amien sendiri, bahwa masuk ke UGM merupakan takdir. Di samping di UGM, Amien merangkap di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan memperoleh gelar Sarjana Muda tahun 1967. Sedangkan pada 1968 Amien menamatkan di Universitas bergengsi itu. Sejak itu pula ia kemudian mendaftarkan diri sebcagai tenaga edukatif pada almamaternya.[1]

B.     GAGASAN AMIEN RAIS DALAM BIDANG FIQIH

-          Syari’ah sebagai Sistem Hukum
            Dalam pengertian yang longgar, syari’at bisa merujuk kepada Islam sebagai agama
Tuhan. Sebagai aturan Tuhan syari’at menempati posisi paling penting dalam masyarakat
Islam. Sebab syari’ah meliputi moral, prilaku, tata aturan mulai dari peribadatan hingga
urusan kenegaraan, yang secara keseluruhan sangat bergantung pada kesadaran manusia.
Sebagai sistem hukum, syari’ah berdasarkan Amien merupakan aturan yang lengkap dan
terpadu.[2]
Dengan memutuskan tauhid sebagai sentrum kehidupan, umat Islam sanggup menarik
atau mendeduksi nilai-nilai etik, moral, dan norma-norma pokok dalam fatwa Islam sebagia
patokan dasar bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Menurut Amien, fatwa pokok
yang dideduksi atau paradigma bagi aturan-aturan yang lebih rendah derajatnya yang dibuat
berdasarkan budi manusia. Dalam konteks ini, kekerabatan antara tauhid dengan aturan-aturan
sosial, menyerupai kekerabatan antara ushul (pokok) dengan furu’ (cabang). Karenanya aturan-aturan atau sistem sosial sebagia “cabang” dihentikan bertentangan dengan fatwa pokok tauhid sebagai “pokok” pemikiran yang berpusat pada tauhid kemudian melahirkan teori-teori yang kesemuanya bertumpu pada syariah. Syari’ah merupakan prinsip-prinsip atau aturan universal yang mendeduksi tauhid ke dalam sistem fatwa yang menjadi jalan hidup (way of life) bagi umat Islam. Suatu masyarakat Islam, dengan demikian tidak mungkin mengambil sitem kehidupan selain syari’ah. Syari’ah yang termuat dalam Al-Qur’an dan Hadits telah
memberikan sekema kehidupan (scheme of life) yang sangat jelas.
            Dalam pemahaman Amien, Syari’ah bukan hanya memperlihatkan apa yang termasuk
ma’rufat dan apa yang tergolong dalam munkara, melainkan juga memilih skema
kehidupan untuk menumbuhkan ma’rufat dan mencegah supaya munkarat tidak merancukan
kehidupan manusia. Akibat logisnya, syari’ah mengatur kehidupan individual dan kolektif
manusia, baik yang bekerjasama dengan ibadat ritual maupun masalah-masalah sosial.
Dalam pandangan Amien Rais, syari’ah yang mempunyai posisi sentral dalam kehidupan
masyarakat dan sebagai hasil pewahyuan Al-Qur’an dan Sunnah, merupakan sekema atau
kode kehidupan yang bersifat fleksibel dan dinamis yang diberikan Islam kepada manusia
untuk mengatur kehidupannya.Syari’ah, ujarnya yaitu kehendak Allah yang harus
dijadikan sumber aturan dalam masyarakat Islam, dan bukan kehendak manusia. Karena itu,
mereka sudah semestinya tidak mengambil sistem kehidupan selain syari’ah. Jika mereka
mengambil sistem kehidupan selain syari’ah menyerupai sistem kapitalisme atau sosialisme – Marxis.[3] Sudah niscaya mereka bukan masyarakat Islam lagi. Hal demikian lantaran syari’ah
adalah suatu kesatuan organis yang harus diteirma secara utuh. Jika diambil sebagian dan
dilepas yang lainnya, maka syari’ah akan kehilangan fungsinya. Bagi Amien Rais, syari’ah merupakan sistem aturan yang lengkap dan terpadu, yang telah meletakkan dasar-dasar (fundamental), tidak hanya bagi aturan konstitusional, tetapi juga aturan administratif, pidana, perdata, bahkan aturan internasional. Sekalipun demikian, syari’ah hanya mengatakan prinsip-prinsip dasarnya saja, mengingat masyarakat insan tumbuh secara dinamis dan selalu menghendaki keluwesan,kreativitas, dan dinamika hukum. Karenanya, yang harus diingat bahwa dalam syari’ah, disamping terdapat bagian-bagian yang
tidak sanggup diubah ada pula pecahan yang bersifat fleksibel, supaya sanggup memenuhi tentunya
perubahan zaman yang dinamis.
            Menurut Amien ada dua kategori hukum; 1) kategori aturan Islam yang tidak berubah
dan tidak sanggup diubah, disebabkan oleh sifatnya yang sangat memilih nasib dan
kehidupan manusia. Kategori aturan ini bersifat permanen dan tidak mendapatkan amandemen
dan modifikasi, sekedar referensi : larangan riba dan judi, serta peraturan aturan waris. 2)
Elemen-elemen aturan yang sanggup dimodifikasi sesuai dengan dinamika zaman dan
perkembangan masyarakat. Bagian yang dimaksud berkenaan dengan persoalan-persoalan
yang tidak dijelaskan secara explisit oleh al-Qur’an dan Sunnah.
Mengamati pemikiran-pemikiran Amien di atas, secara sederhana sanggup disimpulkan
bahwa pandangan keagamaannya terhadap persoalan-persoalan aturan yang ketentuannya
sudah ditetapkan secara eksplisit dan qath’i dalam al-Qur’an dan Hadits, sepertinya bersifat
legalistik-formalistik (hukum waris).



            Sementara itu, berkenaan dengan hukum-hukum yang ketentuannya tidak dijelaskan oleh al-Qur’an maupun Hadits, berdasarkan Amien problem tersebut memungkinkan sekali untuk dilakukan penafsiran dan pemaknaan ulang, sepanjang hal itu berdasarkan pada prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan yang menjadi pesan inti agama (seperti ketentuan zakat sebanyak 2,5 %). Ketentuan zakat sebanyak 2,5% sebagaimana diketahui selama ini, bukan merupakan harga mati, dalam arti batas ukuran maksimal, lantaran ketentuan itu berdasarkan Amien bukan klarifikasi eksplisit al-Qur’an dan Hadits, melainkan hanya merupakan hasil ijtihad ulama terdahulu. Untuk itu, ketentuan zakat bisa berubah lebih besar dari ketentuan awal (2,5%) dalam kasus-kasus tertentu dan sesuai dengan kondisinya.
            Sebagai seorang tokoh muslim, Amien cenderung apresiatif terhadap masalah-masalah politik. Meskipun demikian, ia tidak lupa dengan komitmennya dengan fatwa agama yang puritan. Bahkan hampir tidak ada celah-celah kehidupan ini yang tidak dikaitkan dengan nilai agama. Karena agama merupakan landasan yang amat fundamental, menyeluruh dan bukan sepotong-potong. Dalam sebuah pernyataannya ia pernah melontarkan sebuah keyakinan bahwa "jangan dilupakan bahwa tauhid juga menuntut ditegakkannya keadilan sosial, kerena dilihat dari kacamata tauhid, setiap segala eksploitasi insan atas insan merupakan pengingkaran terhadap persamaan derajat insan di depan Allah. Secara demikian jurang yang menganga lebar antara lapisan kaya dan lapisan miskin yang selalu disertai kehidupan eksploitatif merupakan fenomena yang tidak tauhid, bahkan anti-tauhid". Pernyataan Amien ini dilontarkan, ketika ia mengkritik keras masalah busang di Kalimantan Timur. Menurut keyakinannya, bahwa skandal busang merupakan bentuk eksploitatif yang tersistematis.
            Dalam bidang pemikiran Islam, visi Amien merupakan counter terhadap gagasan modernisasi, sekulerisasi, dan liberalisasi. Bagi Amien, perilaku yang demikian merupakan suatu "ancaman" yang harus diwaspadai oleh kaum muslim. Soalnya, sekulerisasi berdasarkan Amien sesuatu yangtidak bisa dikompromikan dengan agama.
            Sikap Amien yang kritis terhadap sesuatu yang ‘berbau' Barat mungkin bisa dipahami, mengingat pandangan-pandangan keislamannya yang serba alternatif. Kritik-kritik terhadap pahan leiberalisme dan sosialisme-marxisme dengan pisau analisis Islam, menempatkan posisi pada kelompok pembaruan Islamisasi. Titik berat pesan Amien dalam pembaruan adalah, bagaimana realitas dan pembaruan sosial ditundukkan oleh agama. Dan puncak segala sesuatu itu, bergantung pada semangat tauhid sebagai inti ajaran. Dalam perjuangan menundukkan realitas lewat syari'at inilah Amien menganjurkan untuk bersikap kritis terhadap khurafat dan bid'ah tradisi dan nilai modern yang ‘jahili'. Lalu ia memperlihatkan tajdidi yang memang khas Muhammadiyah yaitu mengembalikan problem kepada al-Qur'an dan Sunnah.[4]
            Hal lain yang menjadi pementingan Amien ialah terhadap masalah keadilan sosial, Ijtihad Amien yang tergolong cukup berani ialah dikala memperlihatkan zakat profesi sebesar 20 persen. Gagasan ini, tentu saja dilatarbelakangi oleh komitmen Amien untuk selalu bersikap kritis terhadap masalah ketimpangan yang menggejala dikalangan umat Islam. Visi ini amat mempengaruhi pemikiran Amien untuk selalu bersikap kritis terhadap Muhammadiyah yang remaja ini dipandang mandek.

2.      A. BIOGRAFI QURAISH SHIHAB
            Nama lengkapnya Prof. Dr. H. Muhammad Quraish Shihab, MA, anak dari Prof. Abdurrahman Shihab, guru besar tafsir di IAIN Alauddin Makassar. Ia lebih dikenal dengan nama panggilan Muhammad Quraish Shihab. Lahir pada tanggal 16 Februari 1944 di Rappang, Sidrap Sulawesi Selatan wilayah sebelah barat Kota Daeng Makassar dan tumbuh dalam lingkungan keluarga muslim yang taat, meskipun mempunyai perilaku dan pandangan hidup yang sederhana sebagai keturunan Arab yang terpelajar. Pada tahun 1967, dia meraih gelar Lc (S-1) pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadits Universitas al-Azhar. Kemudian dia melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama, dan pada 1969 meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang Tafsir al-Qur’an, dan sesudah itu ia kembali meneruskan untuk mendapatkan gelar doktornya. Sekembalinya ke Indonesia, ia menjadi sosok sarjana muslim kontemporer yang menjalani karir akademik, sosial kemasyarakatan dan pemerintahan.[5] Ia juga aktif menulis karya-karya ilmiah dan telah melahirkan lebih dari 60 buah buku dan ratusan artikel di surat kabar dan majalah meliputi aneka macam bidang kajian yang digeluti, baik sebagai guru besar di perguruan tinggi maupun dalam kapasitasnya sebagai editor surat kabar. Secara detil sebagian karya-karya dia yang dipublikasikan adalah; Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Departemen Agama, 1987). Membumikan al-Quran; Fungsi dan Peranan Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992). Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996). Hidangan Ilahi; Ayat-Ayat Tahlil, (Jakarta: Lentera Hati, 1997). Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2000). Panduan Puasa Bersama Qurasih Shihab, (Jakarta: Republika, 2003). Menabur Pesan Ilahi; al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat, (Jakarta: Lentera Hati, 2006). M. Qurasih Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), dan lain sebagainya.


B.     GAGASAN QURAISH SHIHAB DALAM BIDANG FIQIH
            Menurut Quraish, fatwâ muncul lantaran adanya suatu kasus akhir perkembangan sosial yang dihadapi oleh umat. Karena itu, fatwâ mensyaratkan adanya orang yang meminta atau kondisi yang memerlukan adanya pandangan atau keputusan hukum. Dengan demikian, fatwâ tidak sama dengan tanya jawab keagamaan menyerupai dalam pengajian-pengajian. Bukan juga sekedar ceramah-ceramah seputar suatu fatwa agama. Fatwâ senantisa sangat sosiologis. Ia mengandaikan adanya perkembangan baru, problem baru, atau kebutuhan gres yang secara aturan belum ada ketetapan hukumnya, atau belum terang duduk masalahnya.[6]
Berdasarkan klarifikasi di atas, Quraish menciptakan rumusan gres perihal jadwal fatwâ dimasa yang akan datang. Perlu segera ditegaskan disini bahwa loncatan umat Islam dari melinium silam ke melinium gres ini jelas-jelas menghadirkan banyak sekali perubahan dan perkembangan yang menyisakan kondisi-kondisi gres yang membutuhkan fatwâ. Oleh lantaran itu, Quraish menganggap ada beberapa jadwal fatwâ yang dimasa depan mungkin harus diwujudkan. Pertama, Quraish berkeyakinan bahwa sekalipun fatwâ dan penetapan aturan senantiasa dibatasi, namun bukan saatnya lagi aneka macam (lembaga) pemberi fatwa hanya bersikap reaktif terhadap problem yang disodorkan umat. Fatwâ sudah semestinya menjadi respon proaktif dari para otoritas pemberi fatwâ dalam menanggapi, bahkan, persoalan-persoalan yang belum terjadi, namun sudah sanggup diprediksi kehadirannya, menyerupai kloning manusia, dsb. Dengan dmeikian, forum pemberi fatwâ dituntut lebih jeli dan produktif dalam memahami kebutuhan riel masyarakat muslim.
Kedua, untuk sanggup proaktif dan produktif, jadwal terbesar umat Islam dikala ini yaitu bagaimana merumuskan suatu metodologi baru, atau paling tidak penegasan kembali suatu prosedur proteksi fatwa yang relatif sanggup diperpegangi bersama (mu’tamad).
Sebab aneka macam perkembangan warta dalam kehidupan kaum muslim dan pertumbuhan kelompok-kelompok gres dalam badan umat tidak tidak sanggup membatasi para intelektual muslim dari sekedar membaca buku-buku produksi Timur Tengah, cetakan-cetakan terjemahan, maupun literatur dari Barat sebagai panduan. Bukan saja ada perbedaan latar belakang kemunculan karya-karya tersebut dengan situasi masyarakat kita, tapi kadang kala semua itu hanya menyajikan pandanag-pandangan, global, teoritis, dan kadang kala sangat politis perihal apa itu Islam dan kehidupan Islami. Sebaliknya, kurang menyajikan suatu keputusan aturan yang sifatnya peraktis dalam kehidupan umat sebagaimana yang menjadi ciri fatwâ-fatwâ yang berkembang di Indonesia semenjak melinium silam.
Ketiga, perlunya merumuskan pengertian al-maşlaĥah atau al-darûriyyat al-ķams dalam konteks ekonomi-politik global kontemporer, maupun dalam lingkup sosio-kultural umat Islam di Indonesia. Maksudnya, sudah saatnya fatwâ-fatwâ kita mempunyai perhatian lebih besar kepada masalah-masalah aturan yang bersifat publik (fiqih/teologi sosial), ketimbang mengurus aspek-aspek teknis ibadah yang bersifat personal. Menyangkut jadwal sosial ini, implikasi dan jangkauan politik suatu fatwâ menjadi sangat besar. Tidak mengherankan jikalau pemerintah biasanya sangat berkepetingan terhadap fatwa jenis ini. Fatwâ-fatwâ seputar mendiang SDSB, UMR, jadwal KB, bunga bank, dan sebagainya senatiasa melibatkan campur tangan pemerintah yang tidak sedikit. Oleh lantaran itu, merupakan kiprah terbesar dan terberat para pemberi fatwa dikala ini untuk membangun kemandiriannya diantara tarik-menarik kekuatan pemerintah, partai-partai politik, organisasi keagamaan, dan kepentingan umat yang lebih luas. Dengan membangun prinsip dan jadwal sosial yang lebih serius, dibutuhkan produk fatwâ yang dihasilkan sanggup lebih mencerminkan pembumian ajaran-ajaran Islam, tanpa mengurangi bobot kebenaran yang dikandungnya.[7]
Berdasarkan gerak fikir Muhammad Quraish Shihab perihal fatwâ di atas, ada hal penting yang perlu digaris bawahi, di mana Quraish mencoba untuk menyamakan antara fatwâ dan ijtihâd dalam pengaplikasiannya. Padahal pada sisi penggunaannya, fatwâ hanya timbul ketika ada yang menanyakan, sedang ijtihâd harus terus digali dan dicarikan jawabannya meskipun tidak ada yang menanyakannya, baik munculnya dikala ini ataupun yang akan datang, dan tentunya sudah diprediksi kemunculan masalah tersebut. Sedangkan Quraish menginginkan adanya perilaku proaktif dari para otoritas pemberi fatwâ dalam menanggapi, persoalan-persoalan yang belum terjadi, namun sudah sanggup diprediksi kehadirannya, lantaran bagi Quraish syarat fatwâ selain adanya orang yang meminta juga lantaran adanya kondisi yang memerlukan pandangan atau keputusan hukum. Inilah pemikiran yang berdasarkan penulis relevan untuk diterapkan di Indonesia yang sangat plural. Apalagi secara geografis, Indonesia berbeda dan jauh dari pusat Islam yakni al-Haramain (Mekah dan Madinah), dan tetunya begitu banyak permasalahan di dalamnya, menyerupai adanya yang mencoba untuk membenturkan antara agama dengan keadaan sosial, budaya, politik, dll.

-          Hasil Fatwa Hukum Islam Muhammad Quraish Shihab
            Tidak bisa dipungkiri bahwa pemikiran M. Quraish Shihab tidak terfokus pada pendekatan aturan Islam, melainkan dengan pendekatan kajian tafsir atas naś-naś al-Qur’an. Namun, melalui tafsirannya terhadap ayat-ayat al-Qur’an tersebut, ia kemudian juga memasuki ranah aturan Islam dengan pendekatannya sendiri melalui fatwa-fatwanya yang ia tulis dan dikumpulkan berdasarkan pertanyaan umat Islam kepadanya. Sebagai referensi yaitu perihal interpretasinya perihal poligami yang dituangkan dalam bukunya Tafsir al-Mishbah, di mana Allâh swt berfirman :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ  تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ  تَعُولُوْا {النساء : 3}
Artinya : “Dan jikalau kau takut tidak akan sanggup berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kau mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kau senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jikalau kau takut tidak akan sanggup berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kau miliki. Yang demikian itu yaitu lebih bersahabat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. an-Nisa’ : 3)[8]
Menurut Quraish, pada hakikatnya ayat ini hanya mengatakan wadah bagi yang menginginkannya, ketika menghadapi kondisi atau masalah tertentu, menyerupai terputusnya kehendak biologis laki-laki lantaran perempuan telah mengalami menopouse, perempuan yang tidak sanggup mengatakan keturunan, penyakit akut yang ada pada diri seorang wanita, peperangan yang berkepanjangan, dan lain sebagainya. Tentu saja masih banyak kondisi atau masalah selain yang disebut itu, yang juga merupakan alasan logis untuk tidak menutup rapat atau mengunci mati pintu poligami yang dibenarkan oleh ayat ini dengan syarat yang tidak ringan itu.[9]
            Berdasarkan pemaparan di atas maka sanggup difahami bahwa pendapat Quraish tersebut memperlihatkan bahwa poligami sanggup dibenarkan tetapi lantaran syarat keadilan harus terpenuhi, dan keadilan (dalam hal cinta) hampir tidak mungkin sanggup terpenuhi, maka kebolehan tersebut tidak sanggup dipahami sebagai anjuran. Ia yaitu pintu yang terbuka pada saat-saat tertentu. Apalagi ayat yang berbicara perihal poligami ini bukan dalam hal penekanannya pada bolehnya poligami, tetapi pada larangan berlaku aniaya terhadap anak yatim. Ayat ini turun ketika ada wali yang mengawini bawah umur yatim elok dan kaya yang dipeliharanya, tetapi tidak mengatakan hak-hak bawah umur yatim itu. Allâh melarang hal tersebut dan amat keras larangannya. Karena sebelum menyatakan, maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kau senangi: dua, tiga atau empat, dinyatakan-Nya, dan jikalau kau takut tidak akan sanggup berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kau mengawininya), maka kawinilah, dan seterusnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, bahwa penetapan syarat-syarat poligami sebagaimana yang tertuang di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (bukan melaranganya sama sekali) bertentangan dengan syari’at Islam. Namun demikian, ia sanggup memahami pandangan yang menyatakan bahwa persyaratan yang sangat berat (seperti harus seizin istri pertama, yang hampir tidak mungkin ada yang mengizinkannya) sanggup mengantar kepada tertutupnya sama sekali pintu poligami yang telah dibukan oleh syari’at Islam. Atau mengantar kepada maraknya perkawinan sirri (yang dirahasiakan), hadirnya wanita-wanita simpanan, atau bahkan mengantar kepada berkembangnya prostitusi. Bukan saja disebabkan oleh jumlah perempuan yang lebih banyak, tetapi lebih-lebih oleh abad “keterbukaan” aurat dewasa ini. Paling tidak, walau tanpa harus merevisi Undang-undang Perkawinan, para hakim dengan kebijaksanaan dan ijtihadnya sanggup berperan mengurangi kekhawatiran masyarakat. Dalam hal poligami ini, pemikiran Muhammad Quraish Shihab terlihat sekali perbedaannya dengan pemerintah, di mana secara tersirat sesungguhnya ia mengingkan adanya revisi dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Akan tetapi revisi yang ia canangkan berbeda dengan kelompok feminisme yang sangat mengedepankan kesetaraan gender. Jika kelompok feminis mempunyai pemikiran untuk menutup saluran poligami lantaran merupakan kekerasana terhadap perempuan dari segi psikis, Muhammad Qurasih Shihab justru mendukung dibukanya saluran poligami ini supaya tidak terjadi perselingkuhan dan prostitusi, baik dengan gadis ataupun janda.
            Adapun pemikiran yang pro-poligami namun tetap mengedepankan nilai-nilai feminisme[18] adalah sebagaimana yang dituangkan oleh Muĥammad Śaĥrûr di dalam kitabnya “al-Kitâb wa al-Qur’an; Qirâ’ah Mu’âşirah” yakni, ayat ini sesungguhnya telah mengatakan petunjuk perihal adanya batas minimal perempuan yang boleh dinikahi yakni satu orang istri, sedangkan batas maksimalnya yaitu empat orang istri. Dan ia menyebutnya dengan sebutan al-ĥudûd.
Lebih terang ia mengungkapkan,
أَنَّ آ يَةَ تَعَدُّدِ الزَّوْجَاتِمِنْ آ يَاتِ اْلحُدُوْدِفَاْلحَدُّ اْلأَدْنىَ هُـنَا هُوَ الْوَاحِدَةُ وَاْلحَدُّ اْلأَعْلىَ هُوَ اْلأَرْبَعَةُ.
Artinya : “Sesungguhnya ayat perihal poligami…merupakan (bagian) dari ayat-ayat perihal al-ĥudûd (ketentuan Allâh)…dan batasan minimal di sini yaitu satu (istri) sedangkan batasan maksimal yaitu empat (istri).
فَقَدْ رَجَحُوْا بِأَنَّ أَسَاسَ اْلعَدَدِ فِى الزِّوَاجِ هُوَ الْوَاحِدَةُ وَقَالُوْا إِنَّ تَعَدُّدَ الزَّوْجَاتِ هُوَ ظُرُوْفٌ اِضْطِرَارِيَّةٌ.[10]
Artinya : “Dan telah dijelaskan bahwa asas perkawinan yaitu (hanya untuk) satu orang (istri), dan mereka berkata bahwa poligami boleh dilakukan lantaran kondisi yang mendesak.
Persyaratan mendesak yang paling ditekankan oleh dia dan sangat berbeda dengan terjemahan al-Qur’an Departemen Agama adalah, (فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ ) “maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kau senangi” maksud dari firman Allâh swt ini yaitu ( أنه يتكلم عن أمهات اليتامى ) “sesungguhnya ia membicarakan perihal ibu-ibu dari bawah umur yatim”. Ayat selanjutnya menyebutkan ( فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ  تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً ) memliki klarifikasi ( أي تعدلوا بين الأولاد يعنى أولاده وأولاد زوجاته الأرامل ) “bersikap adil kepada anak-anak, yakni kepada anak-anaknya dan bawah umur dari istri-istrinya yang janda”. Penafsiran menyerupai ini ia tuangkan lantaran ayat ini diawali dengan ungkapan Allâh swt ( وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى ) “dan jikalau kau takut tidak akan sanggup berlaku adil terhadap (hak-hak) bawah umur yatim”, maksudnya adalah            ( فإذا خاف ألا يعدل بين الأولاد فواحدة ) “maka jikalau kau takut tidak sanggup berlaku adil kepada anak-anaknya maka kawinilah satu istri saja”. Terjemahan Śaĥrur di atas sungguh berbeda dengan terjemahan al-Qur’an oleh Departemen Agama dan juga Quraish Shihab yang menerjemahkannya menjadi “dan jikalau kau takut tidak akan sanggup berlaku adil terhadap(hak-hak) perempuan yatim (bilamana kau mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kau senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jikalau kau takut tidak akan sanggup berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja…”. Dalam hal ini, Śaĥrûr menekankan hak bawah umur yatim sebagai syarat, sedangkan Quraish tidak.
Contoh lain yaitu dari bukunya “Panduan Puasa Bersama Qurasih Shihab”, di mana ia banyak menjawab permasalahan dengan tidak ada kesimpulan final yang kongkrit darinya, menyerupai pada ungkapan dia perihal aturan bersentuhan kulit antara laki-laki dan wanita, apakah membatalkan wudû’. Quraish menjawab, berdasarkan madzhab Śâfi’î, menyentuh lawan seks (jenis) membatalkan wudû’, sedang madzhab lain menganggap batal jikalau seuntuhannya menyebabkan birahi.[11] Bahkan ada pula balasan yang pelu untuk dikaji kembali secara mendalam, yakni perihal dibolehkannya kekerabatan suami-istri yang sedang dalam perjalanan (musâfir) disiang hari bulan ampunan asalkan dalam perjalanan yang dibenarkan oleh agama.
Contoh lain adalah, pada pemahamannya perihal aturan onani yang ia tuangkan dalam bukunya “M. Qurasih Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui”. Dalam hal ini para ulamâ’ banyak mengaharamkan onani dengan mendasarkan pada firman Allâh swt dalam surat al-Mu’minûn ; “dan orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela, barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.”
Namun dalam hal ini, Quraish mengambil pemahaman dari madzhab Ĥanafî yang kemudian di kontekskan dengan keadan dikala ini. Menurut ulamâ’-ulamâ’ madzhab ini, onani intinya terlarang, tetapi ia sanggup dibenarkan bila memenuhi tiga syarat.Pertama, yang bersangkutan tidak bisa kawin. Kedua, khawatir terjerumus dalam perzinaan, dan ketiga, tujuannya bukan sekedar memperoleh kelezatan. Menurut Qurasih pendapat inilah yang tepat, asal hal tersebut tidak sering dilakukan dan tidak menjadikan terganggunya kesehatan.[12] Dalam hal ini, ‘illah hukum yang ditekankan oleh Quraish yaitu dalam hal “terganggu” baik kesehatan maupun keadaannya. Artinya, jikalau ‘illah itu kemudian ada pada diri seseorang, menyerupai terbengkalainya pekerjaan, terganggunya pelajaran, dan lain-lain, maka hukum ĥarâm onani tersemat pada dirinya.



















BAB III
PENUTUP


KESIMPULAN

Amien Rais dilahirkan di Solo 26 April 1944, putra pasangan Suhut Rais dan Suhaimiyah. Sejak kecil ia dididik dan dibesarkan dalam lingkungan Muhammadiyah dan kultur pendidikan. Menurut Amien ada dua kategori hukum; 1) kategori aturan Islam yang tidak berubah dan tidak sanggup diubah, disebabkan oleh sifatnya yang sangat memilih nasib dan kehidupan manusia. Kategori aturan ini bersifat permanen dan tidak mendapatkan amandemen dan modifikasi, sekedar referensi : larangan riba dan judi, serta peraturan aturan waris.
            Elemen-elemen aturan yang sanggup dimodifikasi sesuai dengan dinamika zaman dan
perkembangan masyarakat. Bagian yang dimaksud berkenaan dengan persoalan-persoalan
yang tidak dijelaskan secara explisit oleh al-Qur’an dan Sunnah. Dalam bidang pemikiran Islam, visi Amien merupakan counter terhadap gagasan modernisasi, sekulerisasi, dan liberalisasi. Bagi Amien, perilaku yang demikian merupakan suatu "ancaman" yang harus diwaspadai oleh kaum muslim. Soalnya, sekulerisasi berdasarkan Amien sesuatu yangtidak bisa dikompromikan dengan agama.

Prof. Dr. H. Muhammad Quraish Shihab, MA, anak dari Prof. Abdurrahman Shihab, guru besar tafsir di IAIN Alauddin Makassar. Ia lebih dikenal dengan nama panggilan Muhammad Quraish Shihab. Lahir pada tanggal 16 Februari 1944 di Rappang, Sidrap Sulawesi Selatan wilayah sebelah barat Kota Daeng Makassar dan tumbuh dalam lingkungan keluarga muslim yang taat, meskipun mempunyai perilaku dan pandangan hidup yang sederhana sebagai keturunan Arab yang terpelajar. Menurut Quraish, fatwâ muncul lantaran adanya suatu kasus akhir perkembangan sosial yang dihadapi oleh umat. Karena itu, fatwâ mensyaratkan adanya orang yang meminta atau kondisi yang memerlukan adanya pandangan atau keputusan hukum. Berdasarkan klarifikasi di atas, Quraish menciptakan rumusan gres perihal jadwal fatwâ dimasa yang akan datang. Pertama, Quraish berkeyakinan bahwa sekalipun fatwâ dan penetapan aturan senantiasa dibatasi, namun bukan saatnya lagi aneka macam (lembaga) pemberi fatwa hanya bersikap reaktif terhadap problem yang disodorkan umat. Kedua, untuk sanggup proaktif dan produktif, jadwal terbesar umat Islam dikala ini yaitu bagaimana merumuskan suatu metodologi baru, atau paling tidak penegasan kembali suatu prosedur proteksi fatwa yang relatif sanggup diperpegangi bersama (mu’tamad). Ketiga, perlunya merumuskan pengertian al-maşlaĥah atau al-darûriyyat al-ķams dalam konteks ekonomi-politik global kontemporer, maupun dalam lingkup sosio-kultural umat Islam di Indonesia.







DAFTAR PUSTAKA



Shihab , Muhammad Quraish. 2000. Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-  Qur’an, Volume I. Jakarta: Lentera Hati.

Shihab , Muhammad Qurasih. 2008. M. Qurasih Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui. Jakarta: Lentera Hati.

Shihab , Muhammad Quraish. 2003. Panduan Puasa Bersama Qurasih Shihab. Jakarta:    Republika.

Shihab , Muhammad Quraish. 2002. Era Baru Fatwa Baru; Kata Pengantar, dalam MB   Hooker, Islam Mazhab Indonesia; Fatwa-Fatwa dan Perubahan Sosial, Alih Bahasa           Iding Rosyidin Hasan. Jakarta: Teraju.

Departemen Agama RI. 2006.  al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Pustaka Agung         Harapan.

Śaĥrûr , Muĥammad. 2000. al-Kitâb wa al-Qur’an; Qirâ’ah Mu’âşirah. Beirut: Syirkah al-            Maţbu’ât lî al-Taurî’ wa al-Naśr.

Rais, M. Amien. 1991. Cakrawala Islam antara Cita dan Fakta, Cet. III.    Bandung:Mizan.

Masdar, Umaruddin. 1999. Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais perihal     Demokrasi, Cet.I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Malik, Dedy Djamaluddin, dan Idi Subandy Ibrahim. 1998. Zaman Baru Islam     Indonesia         Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais,     Nurcholis Madjid,       Jalaluddin Rakhmat, Cet. I. Bandung:Zaman Wacana Mulia




[1] Zaman Baru Islam Indonesia : Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Nurcholish Madjid dan Jalaluddin Rahmat
[2] M. Amien Rais, Cakrawala Islam antara Cita dan Fakta, Mizan, Bandung
[3] M. Amien Rais, Cakrawala Islam antara Cita dan Fakta, Mizan, Bandung
[4] Zaman Baru Islam Indonesia : Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Nurcholish Madjid dan Jalaluddin Rahmat
[5] Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2007)

[6] Muhammad Quraish Shihab, Era Baru Fatwa Baru; Kata Pengantar, dalam MB Hooker, Islam Mazhab Indonesia; Fatwa-Fatwa dan Perubahan Sosial, Alih Bahasa Iding Rosyidin Hasan, (Jakarta: Teraju, 2002)
[7] Muhammad Quraish Shihab, Era Baru Fatwa Baru; Kata Pengantar, dalam MB Hooker, Islam Mazhab Indonesia; Fatwa-Fatwa dan Perubahan Sosial, Alih Bahasa Iding Rosyidin Hasan, (Jakarta: Teraju, 2002)
[8] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Pustaka Agung Harapan, 2006)
[9] Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), Volume I.

[10] Muĥammad Śaĥrûr, al-Kitâb wa al-Qur’an; Qirâ’ah Mu’âşirah, (Beirut: Syirkah al-Maţbu’ât lî al-Taurî’ wa al-Naśr, 2000)
[11] Muhammad Quraish Shihab, Panduan Puasa Bersama Qurasih Shihab, (Jakarta: Republika, 2003)

[12] Muhammad Qurasih Shihab, M. Qurasih Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati, 2008)

0 Response to "Tokoh-Tokoh Fiqih Dan Gagasannya"

Total Pageviews