BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Belakangan ini penelitian perihal sejarah fiqih Islam mulai dirasakan penting. Paling tidak, alasannya pertumbuhan dan perkembangan fiqih memperlihatkan pada suatu dinamika pemikiran keagamaan itu sendiri. Hal tersebut merupakan problem yang tidak pernah usai di manapun dan kapanpun, terutama dalam masyarakat-masyarakat agama yang sedang mengalami modernisasi. Di lain pihak, evolusi historikal dari perkembangan fiqih secara sungguh-sungguh telah menyediakan frame work bagi pemikiran Islam, atau lebih tepatnya actual working bagi karakterisitik perkembangan Islam itu sendiri.
Kehadiran fiqih ternyata mengiringi pasang-surut perkembangan Islam, dan bahkan secara amat dominan, fiqih -- terutama fiqih era pertengahan -- mewarnai dan memberi corak bagi perkembangan Islam dari masa ke masa.Karena itulah, kajian-kajian mendalam perihal masalah kesejahteraan fiqih tidak semata-mata bernilai historis, tetapi dengan sendirinya mengatakan kemungkinan gres bagi perkembangan Islam berikutnya.
Jika kita telusuri semenjak dikala kehidupan Nabi Muhammad saw, para sejarahwan sering membaginya dalam dua priode yakni periode Mekkah dan periode Madinah. Pada periode pertama risalah kenabian berisi ajaran-ajaran iktikad dan akhlaq, sedangkan pada periode kedua risalah kenabian lebih banyak berisi hukum-hukum.Dalam mengambil keputusan masalah amaliyah sehari-hari para sobat tidak perlu melaksanakan ijtihad sendiri, alasannya mereka sanggup pribadi bertanya kepada Nabi jikalau mereka mendapati suatu masalah yang belum mereka ketahui.
Sampai dengan masa empat khalifah pertama hukum-hukum syariah itu belum dibukukan, dan belum juga diformulasikan sebagai sebuah ilmu yang sistematis. Kemudian pada masa-masa awal periode tabi'in (masa Dinasti Umayyah) muncul aliran-aliran dalam memahami hukum-hukum syariah serta dalam merespon persoalan-persoalan gres yang muncul sebagai jawaban semakin luasnya wilayah Islam, yakni ahl al-hadis dan ahl al-ra'y.Aliran pertama, yang berpusat di Hijaz (Mekkah-Madinah), banyak menggunakan hadis dan pendapat-pendapat sahabat, serta memahaminya secara harfiah.Sedangkan aliran kedua, yang berpusat di Irak, banyak menggunakan rasio dalam merespons problem gres yang muncul.Perbedaan pendapat dalam lapangan aturan tersebut merupakan sebuah hasil penelitian (ijtihad), hal ini tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan aturan Islam, akan tetapi sebaliknya bisa mengatakan kelonggaran kepada orang banyak.
Pada makalah ini, akan dijelaskan perihal pengertian mazhab, latar belakang dan sejarah awal kemunculan mazhab-mazhab dalam fiqih, bilkhusus pada empat mazhab yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hambali serta beberapa hal lain yang bekerjasama dengan keempat mazhab tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian mazhab?
2. Bagaimana fakta-fakta yang menjadikan mazhab?
3. Bagaimana perkembangan keempat mazhab?
4. Bagaimana perkembangan ushul fiqh?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian mazhab.
2. Mengetahui fakta-fakta yang menjadikan mazhab.
3. Mengetahui perkembangan keempat mazhab fiqh.
4. Mengetahui perkembangan ushul fiqh?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mazhab
Istilah mazhab pada umumnya dipahami mengandung dua arti, pertama cara berpikir atau metode berijtihad yang diterapkan oleh imam atau mujtahid untuk memilih aturan suatu masalah berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Kedua, fatwa atau pendapat imam atau mujtahid perihal suatu masalah atau insiden yang diambil dari Al-Qur’an dan Hadits. Yang pertama disebut secara terkenal dalam kalangan NU sebagai mazhab Manhaji, sedangkan yang kedua disebut mazhab Qawli. Kyai Muchith merinci secara lebih terperinci pengertian mazhab sebagai berikut:
1. Metode ijtihad yang dirumuskan sendiri, berwujud kaidah-kaidah ushul fiqh, qawaidul ahkam, qawaidul fiqhiyah, dan sebagainya.
2. Proses dan mekanisme ijtihad yang dilakukan sendiri.
3. Produk ijtihadnya sendiri yang sudah meliputi aneka macam bidang permasalahn (tidak hanya satu atau dua kasus) (Effendi, 2010).
Berdasarkan pengertian mazhab tersebut di atas, Kyai Muchith membedakan Ahlul Mazhab yakni mereka yang menganut mazhab dalam tiga tingkatan:
1. Bermazhab dalam tingkat mengikuti produk (hasil) ijtihad orang lain, sama sekali tidak bisa berijtihad sendiri, bahkan tidak tahu dalil yang dipergunakan.
2. Bermazhab dalam tingkat sudah bisa berijtihad sendiri secara sangat terbatas, umpamanya santri yang sudah bisa menguasai problematika fardhunya wudhu, mulai dari dalil-dalilnya, pengelolaan dalil, serta penyimpulannya.
3. Bermazhab dalam tingkat sudah bisa berijtihad sendiri dengan mempergunakan metode dan contoh pemahaman yang diciptakan oleh tokoh lain, menyerupai imam Ghozali yang kemampuan berijtihadnya tidak pantas diragukan lagi, tetapi dia masih disebut bermazhab syafi'i alasannya ijtihadnya masih menggunakan metode yang diciptakan oleh imam syafi'i (Effendi, 2010).
B. Fakta-Fakta yang Menimbulkan Mazhab
Di masa pemerintahan Umar bin Khattab, kawasan wilayah daulah Islam bertambah luas. Hal itu mengakibatkan tersebarnya para sobat dan para tabi'in ke aneka macam kota untuk menjadi hakim dan mufti. Masyarakat setempat mencar ilmu kepada mereka perihal urusan agama, dan dari mereka pulalah masyarakat mengambil Al-Qur’an dan As Sunah dan cara memahaminya (Ash Shiddiqy, 1967).
Walaupun di kala itu telah memiliki kebudayaan lain yang mempengaruhi masyarakat, namun para fuqaha sanggup pula menjadikan efek baru. Karena itu, kita mendapati dua fakta yang mempengaruhi perkembangan fiqh di kawasan itu. Pertama, millieu dan kedua, sistem yang ditempuh oleh fuqaha dalam mengatakan dan memetik aturan (Ash Shiddiqy, 1967).
Madrasah-madrasah itu dalam kenyataannya memiliki dua susukan yang berbeda. Pertama, Madrasah Hadits yang sifatnya membatasi diri dengan sekadar yang ada di dalam nash. Kedua, Madrasah Ra'ju, yang sifatnya menyelami keadaan masyarakat dan meneliti illah, kausalita, dan aturan (Ash Shiddiqy, 1967).
Menurut kenyataan sejarah, mazhab Hanafi yakni permulaan mazhab jama'y di Irak yang memegang panji ra'ju dan mazhab Maliki di hijaz yakni permulaan mazhab jama'y (hukum-hukum yang merupakan hasil kebulatan pendapat bersama) yang memegang panji hadits. Kedua-duanya timbul dalam satu masa dan memiliki efek yang sangat besar di kalangan umat (Ash Shiddiqy, 1967).
C. Mazhab Ahli Sunnah yang Masih Berkembang
Mazhab andal sunnah yang sifatnya jama'iyah, kolektif, ketika mulai tumbuh, berbeda satu sama lainnya, berdasarkan ukuran jauh dekatnya kepada pemakaian ra'yi atau rasio. Berdasarkan ini, mazhab andal sunnah dibagi menjadi dua, yaitu madrasah Ra'yi dan madrasah Hadits. Kemudian, mazhab keduanya ini berangsur-angsur kian usang kian rapat, sehingga tidak ada lagi pemisahan di antara keduanya (Ash Shiddiqy, 1967).
Para penulis sejarah fiqh berlainan pendapat dalam menggolongkan mazhab ini. Ibnu Qutaibah menggolongkan Malik, Syafi'i, dan Abu Hanifah ke dalam golongan Ahlurra'yi. Asysyahrastany menggolongkan Abu Hanifah ke dalam golongan Ahlurra'yi. Sedangkan Maliki, Syafi'i, Ahmad dan Dawud ke dalam golongan ahlul hadits. Di bawah ini, akan dijelaskan beberapa mazhab (Ash Shiddiqy, 1967).
1. Mazhab Hanafi
Kufah, merupakan tempat kediaman kebanyakan para fuqaha Islam. Umar bin Khattab telah mengutus Abdullah ibn Mas'ud kesana pada tahun 32 H. Sebagai guru dan hakim, dia juga spesialis hadits dan fiqh. Kemudian termasyhurlah diantara murid-muridnya dan masyhurlah pula murid-muridnya dan murid dari murid-muridnya, menyerupai Alqamah, Masruq, Hammad (gurunya Abu Hanifah), dsb.
Hammad ibn Sulaiman menyatukan fiqh An Nakha'y dengan fiqh Asy Sya'by dan mengatakan fiqh yang sudah dicampur itu kepada muridnya diantaranya yaitu Abu Hanifah An Nu'man yang kemudian menggantikan gurunya sesudah meninggal sebagai pemegang madrasah. Diantara murid Abu Hanifah yang terkenal ialah Abu Yusuf, Muhammad, Zufar dan Hasan ibn Zijad. Mereka bersama Abu Hanifah membentuk mazhab Hanafi pada era kedua hijrah di simpulan pemerintahan Amawiyah.
Abu Hanifah memiliki kesanggupan yang tinggi dalam menggunakan mantik dan tetapkan aturan Syara dengan Qiyas dan Istihsan. Abu Hanifah yakni seorang imam yang terkemuka dalam bidang Qiyas dan Istihsan. Beliau menggunakan Qiyas dan Istihsan apabila dia tidak memperoleh nash dalam kitabullah, sunatullah atau ijma. Dasar-dasar aturan fiqh mazhab dia yakni Al-Qur’an, As Sunah. Ijma, Qiyas, Istihsan.
Murid-murid dia yang paling terkenal ialah:
a. Abu Yusuf Ya'kub ibn Ibrahim al Anshary al Kufu (113 H-182 H)
Beliaulah yang telah berjasa besar dalam menyebarkan mazhab Abu Hanifah. Pendapat-pendapat dia sanggup dipelajari dalam kitab fiqh Hanafi. Kitabnya yang ditulis dengan tangannya sendiri yang hingga ke tangan kita kini ialah kitab Al Kharaj.
b. Muhammad ibn al Hasan asy Syabany
Beliau tidak usang menyertai Abu Yusuf dan pernah mencar ilmu pada Imam Malik, tetapi beliaulah yang telah berusaha membukukan mazhab Hanafi. Kitab-kitab yang dia bukukan ada dua macam, yaitu:
1) Yang diriwayatkan kepada kita oleh orang-orang kepercayaan. Kitab-kitab ini dinamakan kitab Dhahirriwayah atau Masa Ilul Ushul.
2) Yang diriwayatkan kepada kita oleh orang-orang yang tidak kepercayaan yang dinamakan Masailun Nawadir.
Kitab-kitab Dhahirriwayah ada 6 macam, yaitu Al Mabsuth, Al Jami'ul Kabir, Al Jami'ul Shaghir, Al Sijarul Kabir, Al Shirajush Shaghir, Az Ziyadat
Keenam kitab ini telah dikumpulkan oleh Abul Fadel al Marwazy yang dikenal dengan nama al Hakim asy Syahid (344 H) dalam kitabnya Al Kafi. Kemudian, Al Kafi ini disyarahkan dalam kitab Al Mabsuth oleh Syamsul a-immah Muhammad ibn Ahmad as Sarkasy yang wafat pada simpulan era ke 5.
Zufaa ibn Hudzail ibn Qais al Kufy (110 H-158 H) dia terkenal sebagai spesialis qiyas yang terpandai dari murid Abu Hanifah.
c. Al Hasan ibn Zijad al Lu'luy
Beliau mencar ilmu pada Abu Hanifah dan meriwayatkan pendapatnya.Akan tetapi, para fuqaha tidak menyamakan riwayatnya dengan riwayat oleh Muhammad ibn al Hasan pada kitad Dhahirriwayah. Diantara kitabnya ialah Adabul Qalil, Ma'anil Iman, An nafaqat, dsb.
Pada masa kini ini, mazhab Hanafi yakni mazhab resmi di Mesir, Turki, Syiria, dan Libanon. Mazhab inilah yang dianut oleh sebagian besar penduduk Afganistan, Pakistan, Turkistan, muslimin India dan Tiongkok. Lebih dari sepertiga muslimin di dunia juga menggunakan mazhab ini (Ash Shiddiqy, 1967).
2. Mazhab Maliki
a. Asal Usul Mazhab Maliki
Mazhab Maliki merupakan salah satu mazhab dari golongan sunni. Nama Mazhab ini dinisbatkan dari nama seorang ulama Iman Malik bin Anas (93H-179H). Beliau lahir di Madinah dan menjadi andal fiqh yang terkenal. Ayah dia yakni seorang pengrajin panah. Imam Maliki termasuk orang yang sangat berpengaruh hafalannya. Di usia cukup umur dia mulai menghapal Al-Quran dan menjadi Hafidz yang baik. Selain itu, dia juga cepat menghapal hadits yang diajarkan oleh para gurunya menyerupai Ibnu Syihab Az zuhri, Ibnu Hurmuz, dan Nafi. Sementara guru dia dalam bidang Fiqh yakni Rabiah dan Yahya bin Sa’id al Anshari. Imam Maliki dikenal sangat hati hati dalam meriwayatkan hadits. Imam Maliki pernah berkata :” Saya tidak member fatwa dan meriwayatkan hadits sehingga 70 ulama membenarkan dan mengakui” (Amilia, 2005).
Pemikiran-pemikiran Imam Maliki sanggup dilihat dalam karyanya al-Muwaththa’, suatu kitab yang berisi perihal hadits dan fiqh sekaligus. Khalifan Harun ar-Rasyid pernah menginginkan kitab ini sebagai kitab aturan yang diterapkan dan berlaku di seluruh wilayah negeri tersebut, namun harapan itu tidak disetujui oleh Imam Malik. Imam Malik meninggal dunia pada tahun 179 H di Madinah, alasannya sakit dan dimakamkan di al Baqi’ (Amilia, 2005).
b. Dalil-dalil yang dipakai oleh Mazhab Maliki
Metode pengajaran yang dilakukan oleh Imam Maliki didasarkan pada ungkapan hadits dan pembahasan atas makna maknanya kemudian dikaitkan dengan konteks permasalahan yang ada pada dikala itu. Kadang, dia juga menelaah masalah-masalah yang terjadi di kawasan asal murid muridnya, kemudian mencarikan hadits atau atsar-atsar (pernyataan sahabat) yang bisa dipakai untuk memecahkan permasalahan tersebut. Imam Malik sangat menghindari spekulasi, oleh karenanya Madhzab Maliki dikenal sebagai Ahl al hadits atau ahlul hadits (aliran).
Dalil dalil yang dipakai oleh madzhab Maliki dalam tetapkan suatu hukum di antaranya;
1) Al- Quran
Imam Maliki meletakkan Al Alquran sebagai dalil dan dasar tertinggi di atas dalil dalil yang lain.
2) As-Sunnah
Imam Malik menjadikan As-Sunnah sebagai dalil yang kedua sesudah Al-Quran. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah yang mensyaratkan penggunaan As-Sunnah dengan kualifikasi tertentu, Imam Malik meskipun menggunakan al Hadits yang mutawatir dan masyuhr juga bisa mendapatkan al-Hadits yang minggu sekalipun asalkan tidak bertentangan dengan amal andal Madinah.
3) Amal andal Madinah (Praktik Masyarakat Madinah)
Imam Malik beropini bahwa Madinah merupakan tempat Rasulullah SAW menghabiskan sepuluh tahun simpulan hidupnya, maka praktik yang dilakukan masyarakat Madinah mesti diperbolehkan oleh Nabi SAW, atau bahkan bisa jadi dianjurkan oleh Nabi SAW sendiri, oleh alasannya itu imam Malik menganggap bahwa praktik masyarakat Madinah,merupakan bentuk As-Sunnah yang sangat otentik yang diriwayatkan dalam bentuk tindakan. Imam Malik lebih mendahulukan dan mengutamakan tradisi masyarakat Madinah ini daripada hadits yang ahad.
4) Fatwa Sahabat
Seperti halnya Imam Abu Hanifah, Imam Malik juga menggunakan dan menjadikan fatwa sobat ini sebagai dalil dalam tetapkan aturan Islam.
5) Al-Qiyas
Apabila dalam praktik masyarakat Madinah dan fatwa para sobat tidak ditemukan aturan atas problem yang ada, maka Imam Maliki menggunakan Al-Qiyas.
6) Al-Mashlahah al-Mursalah
Al-Mashlahah al Mursalah yakni tetapkan aturan atas aneka macam problem yang tidak ada petunjuk konkret dalam nash, dengan pertimbangan kemashlahatan, yang proses analisisnya lebih banyak ditentukan oleh logika Mujtahidnya.
7) Al-Istihsan
Imam Malik juga menggunakan Al-Istihsan sebagaimana pendahulunya, Imam Abu Hanifah.
8) Adz-Dzari’ah
Secara etimologi kata Adz-dzari’ah berarti sarana, sedangkan secara terminologi para andal ushul yakni sarana atau jalan untuk hingga pada suatu tujuan. Adapun tujuan tersebut bisa berupa kebaikan yang berarti mashlahah dan bisa pula maksiat yang berarti mafsadah. Apabila sarana tersebut membawa pada kemaslahatan, maka harus dibuka peluang untuk melakukannya, dalam ilmu Ushul Fiqh disebut fath adz-dzari’ah, sedangkan sarana yang membawa pada kemafsadatan, maka harus ditutup jalan untuk hingga kepadanya, dalam ilmu Ushul Fiqh disebut sad adz-dzari’ah. Imam Malik ketika tetapkan aturan dengan mempertimbangkan kemungkinan kemungkinan yang akan timbul dari suatu perbuatan. Jika perbuatan itu akan menjadikan mafsadah meski aturan asalnya boleh, maka aturan perbuatan tadi yakni haram. Sebaliknya, jikalau akan menjadikan maslahah, maka aturan perbuatan tadi tetap boleh atau bahkan dianjurkan atau bisa meningkat lagi menjadi wajib.
c. Para Pengikut Mahzhab Maliki
Murid murid Imam Maliki antara lain : Abd ar-Rahman bin Al- Qasim, Ibnu Wahab dan as-Syafii. Mazhab Maliki ini hingga dikala ini masih banyak pengikutnya dan mereka tersebar di beberapa negeri antara lain Mesir, Sudan, Kuwait, Bahrain, Maroko dan Afrika (Amilia, 2005).
3. Mazhab Syafi’i
Mazhab syafii disusun oleh Muhammad bin Idris bin Syafi’i. Beliau yakni keturunan bangsa Quraisy. Beliau dilahirkan di Khuzzah tahun 150 hijriah, dan meninggal dunia di Mesir tahun 204 H. Sewaktu berumur 7 tahun, dia telah hafal Al-Quran. Setelah berumur 10 tahun dia hafal Al-Muwatta (kitab milik Imam Malik) (Rasjid, 2000). Setelah dia berumur 20 tahun, dia menerima izin dari gurunya (Muslim bin Khalid) untuk berfatwa Kitab ”Ar-Risalah” yang dikarangnya dikenal sebagai kitab pertama yang membahas Ushul Fiqh, sehingga dia dikenal sebagai peletak ilmu Ushul Fiqh. Beliau juga mengarang kitab Al-Umm dalam bidang fiqh (Hayder, 2004).
Landasan dari mazhab yang dibentuk oleh Syafi’i adala Al Quran, As Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Perkembangan mazhab Syafii terdapat di sebagian negeri Mesir, Palestina, Yaman, sedikit terdapat di Irak, Pakistan dan Saudi Arabia. Mazhab ini mayoritas dianut oleh Negara Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam (Hayder, 2004).
4. Mazhab Hambali
Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal yakni penyusun mazhab Hambali, dia dilahirkan di Baghdad dan meninggal dunia pada hari jumat tanggal 12 RA tahun 241 H. Semenjak kecil dia mencar ilmu di Baghdad, Syam, Hijaz dan Yaman. Beliau yakni murid dari Imam Syafi’i. Murid dari Ahmad bin Hanbal banyak dan terkemuka, diantaranya yaitu Bukhari dan Muslim (Rasjid, 2000).
Ahmad bin Hanbal menyusun mazhab berdasar 4 hal yaitu:
Dasar pertama yakni Al-Quran dan Hadis. Dalam soal yang dia hadapi, dia selidiki ada atau tidaknya nas, kalau ada dia berfatwa berdasarkan nas.
Dasar kedua yakni fatwa sahabat. Dalam satu peristiwa, apabila tidak ada nas yang bersangkutan dengan insiden itu, dia mencari fatwa dari sahabat. Apabila fatwa salah seorang sobat tidak memperoleh bantahan dari sahabat-sahabat lain maka ia menghukumkan berdasarkan fatwa sobat itu tadi. Jika fatwa itu berbeda antara beberapa sahabat, dia pilih yang lebih akrab pada kitab dan sunnah.
Dasar ketiga yakni hadis mursal atau lemah, apabila tidak bertentangan dengan dalil-dalil lain.
Dasar keempat yakni qiyas. Beliau tidak menggunakan qiya kecuali apabila tidak ada jalan lain (Rasjid, 2000).
Beliau sangat hati-hati dalam melahirkan fatwa, kehati-hatiannya itu yang mengakibatkan mazhabnya lambat tersebar ke daerah-daerah yang sangat jauh, apalagi murid-murid dia juga sangat berhati-hati (Rasjid, 2000). Mazhab Hambali banyak tersebar di Jazirah Arab, di daratan Mesir serta di Damaskus (Syuriah) (Hayder, 2004).
D. Perkembangan Ushul Fiqh
1. Periode Rasullah
Di zaman Rasulullah SAW sumber aturan Islam hanya dua, yaitu Al-Quran dan Assunnah. Apabila suatu masalah terjadi, Nabi SAW menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan aturan masalah tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka Rauslullah SAW tetapkan aturan masalah tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadits atau sunnah.
Namun demikian juga terdapat perjuangan dari beberapa sobat yang menggunakan pendapatnya dalam memilih keputusan hukum. Hal ini didasarkan pada Hadis muadz bin Jabbal sewaktu dia diutus oleh Rasul untuk menjadi gubernur di Yaman. Sebelum berangkat, Nabi bertanya kepada Muadz:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَقْضِي فَقَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُن
فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Sesungguhnya Rasulullah Saw. mengutus Mu’adz ke Yaman. Kemudian Nabi bertanya kepada Muadz bin Jabbal: Bagaimana engkau akan tetapkan persoalan?, ia menjawab: akan saya putuskan berdasarkan Kitab Allah (al-Quran), Nabi bertanya: kalau tidak engkau temukan di dalam Kitabullah?!, ia jawab: akan saya putuskan berdasarkan Sunnah Rasul SAW, Nabi bertanya lagi: kalau tidak engkau temukan di dalam Sunnah Rasul?!, ia menjawab: saya akan berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik atas diri utusan Rasulullah (HR. Bukhari).
Hadits ini secara tersurat tidak memperlihatkan adanya upaya Nabi menyebarkan Ilmu Ushul Fiqh, tapi secara tersirat terperinci Nabi telah mengatakan keluasan dalam menyebarkan budi atau berijtihad, untuk tetapkan aturan yang belum tersurat dalam Al-Quran dan Sunnah (Al-Hudhari. 1969).
2. Periode Sahabat
Semenjak Nabi Saw wafat, pengganti dia yakni para sahabatnya. Pembinaan aturan Islam dipegang oleh para pembesar sahabat, menyerupai Umar bin Khattab, Ali bin Abi Tholib dan Ibn Mas’ud. Pada masa ini pintu ijtihad telah mulai dikembangkan, yang pada masa Nabi Saw tidak pernah mereka gunakan, terkecuali dalam permasalahan yang amat sedikit.
Para sobat menggunakan istilah “al-Ra’yu”, istilah ini dalam pandangan sobat menyerupai yang dikemukakan oleh Ibn Qayyim dalam kitab I’lam al-Muwaqqi’in- yakni sesuatu yang dilihat oleh hati sesudah terjadi proses pemikiran, perenungan dan pencarian untuk mengetahui sisi kebenaran dari permasalahan yang membutuhkan penyelesaian. Al-Ra’yu dalam pengertian ini meliputi qiyas, istihsan dan istishlah. Meskipun demikian mereka belum menamakan metode penggalian aturan menyerupai ini dengan nama ilmu Ushul Fiqih, namun secara teori mereka telah mengamalkan metodenya (Hasyim, Kamali. 1996).
3. Periode Tabi’in Dan Imam Mazhab
Pada masa tabi’in, tabi’it-tabi’in dan para imam mujtahid, di sekitar era 2-3 Hijriyah wilayah kekuasaan Islam telah menjadi semakin luas, hingga ke daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab dan bermacam-macam pula situasi dan kondisinya serta moral istiadatnya. Dengan semakin tersebarnya agama Islam di kalangan penduduk dari aneka macam kawasan tersebut, menjadikan semakin banyak persoalan-persoalan aturan yang timbul. Yang tidak didapati ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Untuk itu para ulama yang tinggal di aneka macam kawasan itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya.
Dalam pada itu, pada masa ini juga semakin banyak terjadi perbedaan dan perdebatan antara para ulama mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang ditempuhnya. Perbedaan dan perdebatan tersebut, bukan saja antara ulama satu kawasan dengan kawasan yang lain, tetapi juga antara para ulama yang sama-sama tinggal dalam satu daerah.Kenyataan-kenyataan di atas mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah syari’ah yakni kaidah-kaidah yang bertalian dengan tujuan dan dasar-dasar syara’ dalam tetapkan aturan dalam berijtihad.
Dari pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka itu membawa jawaban terjadinya penyusupan bahasa-bahasa mereka ke dalam bahasa Arab, baik berupa ejaan, kata-kata maupun dalam susunan kalimat, baik dalam ucapan maupun dalam tulisan. Keadaan yang demikian itu, tidak sedikit menjadikan keraguan dan kemungkinan-kemungkinan dalam memahami nash-nash syara’. Hal ini mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah lughawiyah (bahasa), semoga sanggup memahami nash-nash syara’ sebagaimana dipahami oleh orang-orang Arab sewaktu turun atau datangnya nash-nash tersebut (Syafi’I, Rahmad. 2007).
4. Periode Imam Mujtahid sebelum Imam Syafii
Pada periode ini, metode pengalihan aturan bertambah banyak, dengan demikian bertambah banyak pula kaidah-kaidah istinbat aturan dan teknis penerapannya. Imam Abu Hanafiah an-Nu’man (80-150H). pendiri mazhab Hanafi. Dasar-dasar istinbatnya yaitu : Kitabullah, sunah, fatwa (pendapat Sahabat yang disepakati), tidak berpegang dengan pendapat Tabi’in, qiyas dan istihsan. Demikian pula Imam Malik bin Anas (93-179H). pendiri mazhab Maliki. Di samping berpegang kepada Al-Qur’an dan sunah, dia juga banyak mengistinbatkan aturan berdasarkan amalan penduduk Madinah. Pada masa ini, Abu hanifah dan Imam Malik tidak meningalkan buku ushul fiqh (Chaerul, Umam. 2008).
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Mazhab secara umum mengandung dua arti, pertama cara berpikir atau metode berijtihad yang diterapkan oleh imam atau mujtahid untuk memilih aturan suatu masalah berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Kedua, fatwa atau pendapat imam atau mujtahid perihal suatu masalah atau insiden yang diambil dari Al-Qur’an dan Hadits.
2. Luasnya wilayah Islam di zaman Khalifah Umar bin Khattab menciptakan para tabiin dan sobat menyebar ke wilayah tersebut untuk menjadi hakim dan mufti. Masyarakat mencar ilmu mengenai Islam serta mencar ilmu memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah dari mereka. Dua fakta yang mempengaruhi perkembangan fiqh di kawasan itu yakni pertama, millieu dan kedua, sistem yang ditempuh oleh fuqaha dalam mengatakan dan memetik hukum.
3. Mazhab Hanafi lahir di Kufah yang merupakan tempat lahirnya para fuqaha. Mazhab Hanafi didirikan oleh Abu hanifah bersama murid-muridnya pada abad kedua hijrah di simpulan pemerintahan Amawiyah. Abu Hanifah yakni seorang imam yang terkemuka dalam bidang Qiyas dan Istihsan. Dasar-dasar aturan fiqh mazhab Hanafi yakni Al-Qur’an, As Sunah. Ijma, Qiyas, dan Istihsan. Mazhab Hanafi yakni mazhab resmi di Mesir, Turki, Syiria, dan Libanon.
Mazhab Maliki merupakan mazhab dari golongan sunni. Nama Mazhab ini dinisbatkan dari Imam Malik bin Anas. Dalil-dalil yang dipakai mazhab ini untuk tetapkan aturan berasal dari Al-Qur’an, As-Sunnah, fatwa sahabat, qiyas, Al-Mashlahah al-Mursalah, Al-Istihsan, dan Adz-Dzari’ah. Pengikut mazhab Maliki tersebar di beberapa negeri antara lain Mesir, Sudan, Kuwait, Bahrain, Maroko dan Afrika.
Mazhab Syafi’i disusun oleh Muhammad bin Idris bin Syafi’i. Landasan dari mazhab yang dibentuk oleh Syafi’i yakni Al Quran, As Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Perkembangan mazhab Syafii terdapat di sebagian negeri Mesir, Palestina, Yaman, sedikit terdapat di Irak, Pakistan dan Saudi Arabia. Mazhab ini mayoritas dianut oleh Negara Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam.
Mazhab Hambali disusun oleh Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal. Ahmad bin Hanbal menyusun mazhab ini berdasar 4 hal yaitu Al-Quran dan Hadis, fatwa sahabat, hadis mursal atau lemah apabila tidak bertentangan dengan dalil-dalil lain dan qiyas. Pengikut mazhab Hambali banyak tersebar di Jazirah Arab, di daratan Mesir serta di Damaskus (Syuriah).
4. Secara garis besar, ushul fiqh berkembang dalam empat periode. yaitu pada periode Rasullah, periode sahabat, periode Tabi’in serta Imam Mazhab, dan yang terakhir periode Imam Mujtahid sebelum Imam Syafii.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hudhari Byk.1969. Ushul al-Fiqh. Mesir: Maktabah tija’riyah al-Kubro
Ash Shiddiqy, Hasbi. 1967. Pengantar Ilmu Fiqh. Jakarta: CV Mulya.
Chaerul Umam.2008. Ushul fiqih 1. Bandung ; Pustaka Setia
Effendi, Djohan. 2010. Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi. Jakarta: Media Kompas Nusantara.
Hayder, Abdullah. 2004. Mazhab Fiqh, Kedudukan dan Cara Menyikapinya. Riyadh: Khalid ibn al waleed.
Hasim Kamali. 1996. Muhammad, Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam. Pustaka Pelajar Offset
Rasjid, H.Sulaiman. 2000. Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap). Bandung: PT Sinar Baru Algesindo.
Syafi’I,Rahmat.2007. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: cv pustaka setia bandung
0 Response to "Sejarah Kemunculan Dan Perkembangan Mazhab Fiqh Dan Ushul Fiqh"