Johan berkali-kali membolak-balik buku-buku di rak buku milik mamanya, tetapi benda itu tidak ada. Johan hingga menghela napas pasrah alasannya ialah tak menemukannya juga.
“Ketemu, Re?” tanya Johan ketika Rere, adiknya masuk ke kamar mama.
Rere menggeleng,”Aku bingung, mas. Mama nyimpen dimana sih buku diary-nya.”
Johan hanya melamun sambil sibuk memikirkan sesuatu. Kedua kakak-beradik itu sedang mencari diary milik mamanya yang ditulis semenjak mama keduanya kecil. Diary tersebut sangat diharapkan ketika ini. Mama mereka ketika ini sedang terbaring lemah di rumah sakit alasannya ialah menderita penyakit jantung. Lalu untuk apa buku diary itu? Kartika, mama mereka menderita penyakit Alzheimer sehingga memori dalam otaknya ada yang terlupakan. Kadang mama mereka salah memangil nama anaknya, yang paling menciptakan mereka miris ialah kenyataan bahwa mamanya melupakan kenangan ihwal papa mereka yang telah meninggal lima tahun lalu. Penyakit Alzheimer yang diderita mamanya gres dua bulan ini memperlihatkan imbas besar. Mereka pun berinisiatif meletakkan foto keluarga di ruang rawat mamanya.
Johan sering sekali melihat mamanya menangis sambil memandang foto keluarga tersebut. Ia tahu mamanya sangat ingin mengingat kenangan ihwal keluarganya terlebih kenangan akan sosok papa.
“Mas, saya pergi ke rumah sakit dulu ya.” Ucap Rere.
Sepeninggal Rere, rumah terasa sepi. Johan kembali mengingat percakapannya dengan mamanya beberapa tahun yang lalu. Dia yakin sekali mamanya mempunyai buku harian. Mamanya bahkan pernah bilang dimana daerah favorit menaruh buku harian tersebut untuk menghindari papa membaca isinya alasannya ialah isi buku harian tersebut semua ihwal papa. Buku harian tersebut akan membantu mamanya mengenal papa walau kemungkinan untuk mengingatnya kecil.
Ting tong
Johan membukakan pintu rumahnya dan disambut oleh pak pos.
“Ada paket untuk mas Johan,” ucap pak pos yang berumur 20 tahunan itu.
Johan mendapatkan paket itu tanpa banyak bicara. Dia bangun sebentar di ambang pintu untuk melihat langit sore 8 April yang mendung.
“8 april tahun kemudian juga mendung menyerupai ini, yang berbeda ialah mama. Sungguh tahun 2015 yang berat.” Gumam Johan.
Johan membuka isi Paket tersebut. Nama pengirimnya sama dengan mamanya, Kartika tetapi alamatnya berbeda. Johan menyerupai pernah mengetahuo alamat pengirim itu.
“Sebuah vas?” tanya Johan bingung. Di dalam vas itu terdapat sebuah surat.
“Kembalikan saya ke masa lalu,” ucap Johan membaca surat itu. Usai mengucapkannya, Johan mencicipi pusing ahli dan pandangannya mulai kabur. Lima menit kemudian pandangannya kembali normal, tetapi yang di depan Johan kini bukanlah rumahnya melainkan sebuah sekolah.
“Mas siapa?” tanya seorang siswa yang tiba-tiba bangun di depan Johan.
“Guru gres ya mas?” tanya siswa itu sekali lagi.
“Mas, tidak sakit kan?” tanya siswa itu lagi.
Johan memandang siswa itu dari atas ke bawah dan menyadari sesuatu, siswa itu menyerupai dengan seseorang.
“Nama mas siapa? “ Tanya siswa itu tidak kekurangan akal.
“Johan,” jawab Johan singkat.
“Wah, nama kita sedikit mirip. Aku Joni.” Ucap siswa itu sampil memperlihatkan papan nama di dadanya. Johan membaca nama lengkap siswa itu.
“Papa,” ucap Johan spontan. Nama siswa itu sama dengan nama papanya alasannya ialah itulah Johan merasa mengenal wajah siswa itu.
“Apa mas?” tanya siswa itu.
“Aku pergi dulu ya mas,” ucap siswa berjulukan Joni itu ketika segerombolan temannya memanggil.
Johan terdiam. Dia kini sudah berada di masa lalu, hanya itulah yang diketahuinya.
“Johan, kau udah di sini?” tanya seorang siswi anggun berjulukan Kartika, Johan sangat yakin orang itu ialah mamanya.
“Bagaimana kau tahu?”
“Vas yang saya kirim,” Jawab Kartika dengan senyum mengembang.
Kartika mengulurkan tangannya pada Johan,”Bantu saya merangkai kenangan.”
Johan tak mengerti maksud Kartika, tetapi gadis ittu tiba-tiba mengeluarkan sebuah buku harian dan mengulurkannya pada Johan.
“Ini buku harian yang saya cari,” ucap Johan setengah tak percaya alasannya ialah mamanya pernah memperlihatkan buku harian itu pada Johan.
“Aku mohon, bantulah saya merangkai kenangan ini,” ucap Kartika dengan wajah memelas.
0 Response to "Merangkai Kenangan"